A. Ajaran - Ajaran Aliran Al-Mu’tazilah
Menurut Al-Bagdady dalam kitabnya (al-Farqu bainal Firaqi), aliran Mu’tazilah terpecah menjadi 22 golongan, dua diantaranya dianggap sudah keluar dari Islam. Meski begitu, semuanya masih tergabung dalam al-Ushul al-Khamzah (lima ajaran dasar), yaitu:
1. At-Tawhid (ke-Esa-an)
At-Tawhid dalam pandangan Mu’tazilah berarti meng-Esa-kan Allah dari segala sifat dan af’alnya yang menjadi pegangan bagi akidah Islam. Mereka adalah ahli Tauhid yang berusaha semaksimal mungkin mempertahankan prinsip ke-Tauhidannya dari serangan Syi’ah Rafidiyah yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk Jisim, serta serangan dari agama dualise dan Tritinas. Tauhid dari golongan Mu’tazilah adalah:
· Sifat-sifat Tuhan tidak bersifat Qadim, kalau sifat Tuhan itu qadim berarti Allah itu berbilang-bilang, sebab ada dua zat yang qadim, yaitu Allah dan sifat-Nya, padahal Allah Maha Esa.
· Mereka “menafikan” meniadakan sifat-sifat Allah sebab bila Allah bersifat dan sifatnya itu bermacam-macam, pasti Allah itu berbilang.
· Allah bersifat ‘Alimin, Qadarin, Hayyun, Samiun, Basyirun dan sebagainya adalah dengan zat-Nya, tetapi ini bukan keluar dari zat Allah yang berdiri sendiri.
· Allah tidak dapat diterka dan dilihat mata walaupun di akhirat nanti.
· Mereka menolak aliran Mujasimah, Musyabilah, Dualisme, dan Trinitas.
· Tuhan itu bukan benda bukan Arrad dan tidak berlaku tempat (arah) pada-Nya.
2. Al-Adlu (keadilan)
Manusia adalah merdeka dalam segala perbuatan dan tindakannya, oleh karena itu, manusia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Apabila perbuatan itu baik, maka Tuhan memberi kebaikan dan kalau perbuatan itu jelek atau salah, jelas siksaan dari Tuhan yang didapat. Inilah yang mereka maksud keadilan. Lebih jauhnya tentang keadilan, mereka berpendapat:
· Tuhan menguasai kebaikan dan tidak menghendaki keburukan.
· Manusia bebas berbuat dan kebebasan ini karena Qudrat (kekuasaan) yang dijadikan Tuhan pada diri manusia.
· Makhluk diciptakan Tuhan atas dasar hikmah kebijaksanaan.
· Tuhan tidak melarang atas sesuatu kecuali terhadap yang dilarang dan menyuruh kecuali yang disuruh-Nya.
· Kaum Mu’tazilah tidak mengakui bahwa manusia memiliki Qudrat dan Iradat, semua itu hanya pinjaman belaka.
· Manusia dapat dilarang atau dicegah untuk melakukan Qudrat dan Iradat.
3. Al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman)
Prinsip janji dan ancaman yang dipegang oleh kaum Mu’tazilah adalah untuk membuktikan keadilan Tuhan sehingga manusia dapat merasakan balasan Tuhan atas segala perbuatannya. Inilah peranan janji dan ancaman bagi manusia agar tidak terlalu menjalankan kehidupannya. Ajarannya ialah:
· Orang mukmin yang berdosa besar lalu mati sebelum bertaubat ia tidak akan mendapat ampunan dari Tuhan.
· Di akhirat tidak akan ada Syafaat, karena syafaat berlawanan dengan al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman).
· Tuhan pasti akan membalas kebaikan manusia yang telah berbuat baik dan akan menjatuhkan siksa terhadap manusia yang melakukan kejahatan.
4. Al-Manzilah bainal Manzilataini (tempat diantara dua tempat)
Sebagai diuraikan terdahulu bahwa yang dimaksud dengan tempat diantara dua tempat adalah tempat bagi orang Fasik, yaitu orang-orang yang melakukan dosa besar tetapi tidak Musyrik, nanti akan ditempatkan disuatu tempat yang berada diantara surga dan neraka. Doktrin ini oleh sebagian teolog dipandang membingungkan dan tidak jelas. Sebab tidak terdapat penjelasan yang kongkrit dan riil tentang dasar yang digunakan oleh Mu’tazilah dan keadaan tempat tersebut.
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar (menyuruh kebaikan dan melarang kejelekan)
Dasar ini pada kenyataannya hanya sekedar berhubungan dengan amalan batin, hal ini membuat heboh dunia Islam selama 300 tahun pada abad permulaan Islam, sebab menurut mereka: “Orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan atau diluruskan”. Kewajiban ini harus dilaksanakan oleh setiap muslimin dan muslimat untuk menegakkan agama serta memberi petunjuk kepada orang yang sesat. Dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, Mu’tazilah berpegang kepada Al-Hadist yang artinya: “siapa diantaramu yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tanganmu”.
Oleh karena itulah telah tercatat dalam sejarah bahwa kaum Mu’tazilah pernah membunuh ulama-ulama Islam, diantaranya Syekh Buwaithi, seorang ulama pengganti Imam Syafi’i dalam suatu peristiwa “Qur’an Makhluk”. Di sini terdapat keganjilan-keganjilan dari orang Mu’tazilah sebab amar ma’ruf atau menyuruh kebaikan itu dimaksudkan hanya ma’ruf (kebaikan) bagi kaum Mu’tazilah, yaitu hanya pendapat mereka bukan ma’ruf (kebaikan) yang sesuai dengan Qur’an.
B. Tokoh-tokoh Utama Aliran Al-Asy’ari dan Ajaran Pokoknya.
1. Washil bin Atha’ al-Ghazzal (70-131 H/SM)
Washil bib Atha’ lahir sekitar tahun 70 H di Madinah. Dari Madinah beliau pindah ke Bashrah dan berguru pada hasan al-Bashri, seorang tokoh dan ulam besar. Ketika belajar dengan Hasan al-Bashri inilah ia pertama kali melontarkan pendapat yang berbeda dengan gurunya sehingga dia dan pengikutnya disebut Mu’tazilah. Pokok-pokok pikiran teologis Washil dapat disimpulkan pada tiga hal penting:
· Tentang muslim yang berbuat dosa besar, Washil berpendapat, orang itu tidak mukmin, tidak pula kafir, tapi fasiq. Kedudukannya berada diantara mukmin dan kafir (al-manzilah bain al-manzilain), dengan klasifikasi tersendiri.
· Mengenai perbuatan manusia, Washil berpendapat, manusia memiliki kebebasan, kemampuan, dan kekuasaan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Kebebasan memilih, kemampuan dan kekuasaan berbuat yang ada pada manusia itu adalah pemberian dari Tuhan kepadanya. Karena itu manusialah yang menciptakan perbuatannya dan harus bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya itu.
· Tentang sifat Allah, Washil menolak paham bahwa Tuhan memiliki sifat. Apa yang dianggap orang sebagai sifat tidak lain kecuali sifat Allah itu sendiri. Sebagai contoh, Tuhan mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya itu adalah zat-Nya, Tuhan mendengar dengan pendengaran-Nya dan pendengaran-Nya itu adalah zat-Nya.
2. Abu al-Huzail al-Allaf (135-226 H atau 753-840 M)
Ia menjadi pemimpin aliran Mu’tazilah Bashrah yang merupakan generasi kedua Mu’tazilah. Tokoh inilah yang mengintrodusir dan menyusun dasar-dasar paham Mu’tazilah al-ushul al-khamsah, sehinnga aliran Mu’tazilah mengalami kepesatan. Pendapat-pendapatnya antara lain:
· Tentang aradl, dinamakan aradl bukan karena mendatang pada benda-benda, karena banyak aradl bukan pada benda, seperti waktu, abadi dan hancur. Ada aradl yang abadi dan tidak abadi.
· Menetapkan adanya bagian-bagian yang tidak dapat dibagi-bagi lagi (atom).
· Gerak dan diam, benda yang banyak bagian-bagiannya bisa bergerak dengan satu bagian yang bergerak.
· Hakekat manusia, hakekatnya adalah badannya, bukan jiwanya (nafh dan rukh).
· Gerak penghuni surge dan neraka, gerak gerik mereka akan berakhir dan menjadi kesenangan dan siksaan.
· Qadar, manusia bisa mengadakan perbuatan-perbuatannya di dunia, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa di akhirat.
· Tentang sesuatu yang dapat dicapai panca indra hanya bisa diterima apabila diberitakan oleh 20 orang sekurang-kurangnya, seorang diantaranya dari ahli surge (aliran Mu’tazilah).
3. Ibrahim bin Sayyar an-Nazzam (wafat 231 H atau 845 M)
Ia adalah murid Abul-Huzain al-Allaf. Ketika kecilnya ia banyak bergaul dengan orang-orang bukan dari golongan Islam dan sesudah dewasa banyak berhubungan dengan filosof-filosof masanya. Beberapa pendapat-pendapatnya berlainan dengan orang-orang Mu’tazilah lainnya, antara lain,
· Tentang benda (jisim), semua yang ada disebut jisim, termasuk warna dan bau.
· Tidak mengakui adanya bagian yang tidak dapat dibagi-bagi.
· Teori lompatan (thafrah).
· Tidak ada “diam” (inrest). Diam hanyalah istilah bahasa, pada hakekatnya semua yang ada bergerak.
· Hakekat manusia, hakekatnya adalah jiwanya bukannya badannya (seperti pendapat al-Allaf).
· Berkumpulnya contradictie dalam suatu tempat, menunjukkan adanya Tuhan.
· Teori sembunyi (kumun), semua makhluk dijadikan Tuhan sekaligus dalam waktu yang sama.
· Berita yang benar adalah yang diriwayatkan oleh imam yang ma’sum.
· I’jaz Qur’an (daya pelemah) terletak dalam pemberitaan hal-hal yang gaib.
4. Bisyr bin al-Mu’tamir (wafat 226 H/840 M)
Salah satu pedapatnya adalah, siapa yang taubat dari dosa besar kemudian mengerjakan dosa besar lagi, ia akan menerima dosa yang pertama juga, sebab taubatnya dapat diterima dengan syarat tidak mengulangi lagi.
5. Jahiz Amr bin Bahr (wafat 255 H/808 M)
Ia terkenal taajam penanya, banyak karangannya dan banyak membaca buku-buku filsafat, terutama filsafat alam. Karangan-karangannya yang masih ada hanyalah yang bertalian dengan kasusastran.
6. Al-Jubba’I (235-303H atau 849-915M)
Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab. Ia berguru pada al-Syahham, salah seorang murid Abu Huzail al-Allaf. Suasana polotik pada zamannya tidak stabil. Gerakan-gerakan sparatis di berbagai daerah bermunculan dan dinasti-dinasti kecil lahir dimana-mana sehingga pemerintahan pusat jauh menurun. Meskipun demikian, ilmu pengetahuan tetap berkembang pesat, sebab masing-masing dinasti kecil yang menguasai beberapa daerah juga tetap turut memajukan ilmu pengetahuan. Di samping itu, para ilmuwan tidak banyak terpengaruh dengan siruasi dan kondisi politik pada zaman itu.
Comments
Post a Comment